yose.is-a.dev

Back

Visi Solarpunk untuk MelanesiaBlur image

Kerangka Kerja Ekonomi Pasar Regeneratif, Kedaulatan Adat, dan Integrasi Teknologi di Melanesia#

Abstrak#

Esai ini menyajikan kerangka kerja sosial-ekonomi yang dirancang untuk menavigasi tantangan besar Antroposen dengan mengusulkan sintesis antara dinamika produktif ekonomi pasar dan prinsip-prinsip keterlekatan ekologis yang melekat dalam Sistem Pengetahuan Adat (IKS). Ia mengemukakan bahwa model kapitalisme global yang berlaku, meskipun merupakan mesin inovasi dan penciptaan kekayaan yang tak tertandingi, menunjukkan kelemahan struktural—terutama eksternalisasi sistematis biaya sosial dan ekologis—yang membuatnya tidak berkelanjutan. Kembali ke model pra-industri bukanlah hal yang layak maupun diinginkan. Alternatif yang diusulkan adalah “Sintesis Pasar Regeneratif,” sebuah paradigma yang berupaya menginternalisasi prinsip-prinsip keberlanjutan dan kesetaraan langsung ke dalam logika operasional ekonomi.

Dengan mengambil pelajaran dari ekonomi pasar sosial di Skandinavia sebagai preseden yang sukses, karya ini memproyeksikan model generasi berikutnya yang disesuaikan untuk konteks biokultural unik Melanesia, dengan fokus khusus pada pulau Papua. Ia berpendapat bahwa teknologi yang sedang berkembang—termasuk pemantauan ekologis yang digerakkan oleh AI, kerangka kerja kedaulatan data Adat, sistem energi terbarukan terdistribusi, dan bio-komputasi—menyediakan perangkat yang diperlukan untuk mencapai sintesis ini. Alat-alat ini dapat mendorong pembangunan ekonomi dan inovasi yang kuat sambil secara bersamaan menjaga dan merevitalisasi warisan Adat dan ekosistem yang menjadi sandaran semua kehidupan. Makalah ini memuncak dalam peta jalan pragmatis dan bertahap untuk tata kelola dan kebijakan, dengan mengakui tantangan politik dan teknis yang terlibat, untuk memandu transisi menuju masa depan yang lebih tangguh, adil, dan makmur.


Bagian I: Paradigma Kapitalis - Model yang Kuat namun Tidak Lengkap#

1.1 Mesin Produktivitas dan Inovasi yang Belum Pernah Ada Sebelumnya#

Analisis objektif selama tiga abad terakhir mengungkapkan kemanjuran mendalam kapitalisme pasar sebagai sistem untuk mengorganisir usaha manusia dan menghasilkan kekayaan materi. Mekanisme intinya—sinyal harga, persaingan, dan insentif untuk investasi—telah membuka tingkat kapasitas produktif dan inovatif yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah. Hal ini telah menghasilkan perbaikan nyata dan terukur dalam kesejahteraan manusia dalam skala global. Harapan hidup meningkat lebih dari dua kali lipat, kemiskinan absolut telah berkurang secara drastis, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberi umat manusia potensi untuk mengatasi tantangan kuno penyakit dan kelangkaan [Deaton, 2013]. Sistem ini mendorong lingkungan dinamis yang mengarah pada pengembangan kedokteran modern, telekomunikasi global, dan infrastruktur komputasi yang kini menjadi tulang punggung peradaban kontemporer. Setiap proposal yang kredibel untuk model ekonomi masa depan harus mengakui dan berupaya melestarikan kapasitas untuk dinamisme dan inovasi ini.

1.2 Kelemahan Struktural dan Eksternalitas Sistemik#

Terlepas dari keberhasilannya, bentuk dominan kapitalisme abad ke-21 menunjukkan karakteristik struktural yang menghasilkan risiko sistemik. Ini bukan cacat kecil yang mudah diperbaiki tetapi merupakan sifat-sifat yang muncul dari logika inti sistem ketika tidak cukup dibatasi oleh pertimbangan sosial dan ekologis.

  • Masalah Eksternalitas Pasar: Kelemahan paling signifikan adalah ketidakmampuan sistem untuk memperhitungkan “eksternalitas”—biaya sosial atau ekologis yang terkait dengan aktivitas ekonomi yang tidak ditanggung oleh produsen atau konsumen. Krisis iklim global adalah contoh utama dari kegagalan ini. Harga pasar bahan bakar fosil tidak termasuk biaya jangka panjang dari destabilisasi iklim, pengasaman laut, atau peristiwa cuaca ekstrem, yang mengarah pada salah alokasi modal yang mendalam dan ancaman langsung terhadap peradaban [Stern, 2007]. Di Papua, ini termanifestasi dalam aktivitas tambang Grasberg, yang, meskipun menghasilkan pendapatan yang signifikan, juga telah menyebabkan degradasi lingkungan yang luas, termasuk pembuangan lebih dari satu miliar ton tailing ke sistem sungai Ajkwa, dengan konsekuensi ekologis jangka panjang yang tidak diperhitungkan dalam perhitungan laba awal [Banks & Ballard, 1997].

  • Diskon Temporal dan Pengambilan Keputusan Miopia: Praktik ekonomi standar menggabungkan “diskon temporal,” sebuah model di mana manfaat dan biaya masa depan dinilai lebih rendah daripada yang sekarang. Meskipun logis untuk perhitungan keuangan tertentu, ketika diterapkan pada aset ekologis jangka panjang, ini mengarah pada hasil yang merusak. Nilai langsung hutan hujan sebagai kayu untuk ekspor diberi prioritas di atas nilainya yang jauh lebih besar dan jangka panjang dalam menyediakan regulasi iklim, keanekaragaman hayati, dan stabilitas tanah. Cakrawala optimalisasi jangka pendek ini pada dasarnya tidak selaras dengan rentang waktu multi-generasi yang diperlukan untuk pengelolaan ekologis yang berkelanjutan.

  • Komodifikasi Ranah Non-Pasar: Sebagaimana diteorikan oleh Polanyi, perluasan logika pasar ke semua bidang kehidupan manusia dapat memiliki efek korosif pada tatanan sosial [Polanyi, 1944]. Ketika hubungan sosial, tradisi budaya, dan kepercayaan masyarakat dipandang terutama melalui lensa ekonomi, nilai intrinsiknya berkurang. Di Melanesia, tekanan untuk berintegrasi ke dalam ekonomi uang tunai global telah memberikan tekanan besar pada sistem dukungan sosial timbal balik seperti wantok, yang berfungsi pada logika kewajiban timbal balik, bukan manfaat transaksional [Allen, 2009].

Bagi masyarakat Adat Papua, yang telah menopang komunitas mereka selama ribuan tahun dengan beroperasi dalam sistem pengelolaan sumber daya non-pasar yang kompleks, logika kapitalis yang tidak terkendali ini sangat merusak. Ia secara konsisten gagal mengakui legitimasi kepemilikan tanah adat (adat) mereka dan pengetahuan ekologis mereka yang canggih, memperlakukan tanah leluhur mereka sebagai aset yang kurang dimanfaatkan dan matang untuk diekstraksi.

Bagian II: Sistem Pengetahuan Adat - Paradigma Keterlekatan#

Koreksi yang diperlukan terhadap logika abstrak dan tidak terikat dari pasar global ditemukan dalam perspektif yang sangat kontekstual dan jangka panjang dari Sistem Pengetahuan Adat (IKS). Sistem-sistem ini bukanlah peninggalan masa lalu tetapi merupakan kerangka kerja yang canggih dan teruji waktu untuk mengelola sistem sosial-ekologis yang kompleks.

  • Cakrawala Waktu Multi-Generasi: IKS beroperasi pada rentang waktu yang secara fundamental berbeda. Pengambilan keputusan diinformasikan oleh preseden leluhur dan pertimbangan mendalam untuk kesejahteraan generasi mendatang. Ini memberikan penyeimbang penting bagi jangka pendek siklus ekonomi modern.

  • Ekonomi sebagai Sesuatu yang Melekat: Dalam kerangka kerja ini, aktivitas ekonomi bukanlah domain yang terpisah dan dominan tetapi sepenuhnya melekat dalam hubungan sosial, budaya, dan ekologis. Pengelolaan sumber daya diatur oleh aturan-aturan kompleks tentang timbal balik, redistribusi, dan penatagunaan, yang memprioritaskan kohesi sosial dan ketahanan ekologis jangka panjang di atas akumulasi individu. Konseptualisasi ini secara langsung menantang apa yang oleh Audra Simpson disebut sebagai “politik pengakuan”—harapan bahwa masyarakat Adat harus mencari legitimasi melalui kerangka kerja negara pemukim [Simpson, 2014]. Konsep Simpson tentang “kedaulatan bersarang”—di mana satu tatanan politik yang berdaulat ada di dalam negara berdaulat lain dengan ketegangan besar seputar yurisdiksi dan legitimasi—menyediakan landasan teoretis untuk memahami bagaimana sistem ekonomi Adat dapat hidup berdampingan dengan, namun tetap secara fundamental berbeda dari, kapitalisme pasar.

Lebih dalam lagi, “politik penolakan” Simpson menawarkan alternatif kritis: daripada mencari penggabungan atau pengakuan dari negara-negara pemukim, bangsa-bangsa Adat dapat menegaskan kedaulatan melalui penolakan itu sendiri—menolak kewarganegaraan, menolak asimilasi, menolak untuk beroperasi semata-mata dalam kerangka kerja ekonomi yang dipaksakan. Diterapkan pada transformasi ekonomi di Papua, ini berarti sintesis regeneratif tidak boleh hanya berupaya untuk “mengintegrasikan” pengetahuan Adat ke dalam sistem pasar (yang mereproduksi hierarki di mana pasar tetap menjadi yang utama), tetapi harus mengakui tata kelola ekonomi Adat sebagai sesuatu yang memiliki otoritas yang melekat. Sebagaimana ditunjukkan Simpson, “penolakan mengganggu kelancaran operasi kekuasaan, menolak otoritas yang diasumsikan dan membuat ulang narasi yang diabaikan”—ekonomi regeneratif harus dimulai dari kedaulatan ekonomi Adat, bukan hanya mengkonsultasikannya.

Ini membutuhkan langkah melampaui kritik Coulthard terhadap “politik pengakuan.” Dalam Red Skin, White Masks, Glen Coulthard berpendapat bahwa politik pengakuan kontemporer—di mana masyarakat Adat mencari pengakuan hak dari negara-negara kolonial—pada akhirnya mereproduksi struktur dominasi yang sama yang ingin dilampauinya. Sebaliknya, Coulthard menganjurkan “normativitas yang membumi”—kerangka kerja etis yang dihasilkan dari praktik dan pengetahuan berbasis tempat yang ada secara independen dari pengakuan negara. Ekonomi regeneratif harus didasarkan pada normativitas ini: kepemilikan tanah adat (adat), sistem pertukaran timbal balik (wantok), dan penatagunaan multi-generasi tidak hanya menyediakan “masukan” untuk desain ekonomi tetapi merupakan arsitektur dasarnya.

  • Pemikiran Sistem Holistik: IKS secara inheren bersifat holistik, berdasarkan pemahaman empiris yang bernuansa tentang keterkaitan spesies, ekosistem, dan komunitas manusia. Pengetahuan mendalam tentang etnobotani, agroforestri, dan perilaku hewan yang dimiliki oleh komunitas Papua merupakan gudang informasi ilmiah yang tak ternilai, penting untuk konservasi keanekaragaman hayati dan adaptasi iklim [Sillitoe, 2001].

Sistem-sistem ini menyediakan parameter etis dan ekologis yang esensial—“kondisi batas”—di mana model ekonomi yang lebih maju dan berkelanjutan dapat beroperasi.

Bagian III: Sintesis Solarpunk - Kerangka Kerja Ekonomi Pasar Regeneratif#

Tujuannya adalah untuk menciptakan sintesis yang menggabungkan mesin inovatif ekonomi pasar dengan kearifan penstabil IKS, dengan memanfaatkan teknologi modern sebagai infrastruktur pendukung.

3.1 Model Skandinavia sebagai Bukti Konsep#

Demokrasi sosial Nordik berfungsi sebagai bukti konsep yang penting. Negara-negara ini secara konsisten menempati peringkat di antara ekonomi paling kompetitif dan inovatif di dunia, sementara juga memimpin dalam metrik kesejahteraan sosial, kepercayaan publik, dan kinerja lingkungan. Mereka telah berhasil menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk memanfaatkan kekuatan pasar untuk penciptaan kekayaan sambil menggunakan institusi publik yang kuat dan konsensus sosial yang kuat untuk mengarahkan kekuatan tersebut menuju tujuan bersama. Mereka telah secara efektif melekatkan pasar dalam seperangkat nilai-nilai masyarakat, menyediakan model kerja “Sintesis 1.0.”

3.2 Teknologi Kunci untuk Sintesis Melanesia 2.0#

Sintesis dalam konteks Papua dapat melompati model industri abad ke-20 dengan mengintegrasikan teknologi mutakhir yang dirancang untuk desentralisasi, keberlanjutan, dan pemberdayaan.

  • Energi: Jaringan Listrik Terdesentralisasi & Cerdas: Transisi dari ketergantungan pada generator diesel yang mahal dan berpolusi ke sistem energi terbarukan sepenuhnya adalah hal yang mendasar. Modelnya bukan pembangkit listrik terpusat yang besar, tetapi jaringan mini-grid surya milik masyarakat yang tangguh dan terdesentralisasi, proyek mikro-hidro, dan sumber panas bumi. Dikelola oleh teknologi jaringan pintar yang didukung AI, sistem ini dapat mengoptimalkan distribusi energi, memastikan stabilitas, dan menyediakan daya yang andal untuk rumah, sekolah, dan industri lokal baru.

  • Kedaulatan Data & Tata Kelola AI: Data adalah sumber daya utama abad ke-21. Kerangka kerja Kedaulatan Data Adat, berdasarkan prinsip-prinsip seperti Prinsip CARE (Manfaat Kolektif, Otoritas untuk Mengontrol, Tanggung Jawab, Etika), akan memastikan bahwa data dari komunitas Papua dan tanah mereka tetap menjadi aset mereka sendiri [Carroll et al., 2020]. Komunitas kemudian dapat menerapkan sistem “AI Penjaga”. Platform-platform ini akan mengintegrasikan citra satelit, data drone, dan pengetahuan ekologis lokal untuk memantau kesehatan hutan, mencegah pembalakan liar, mengelola sumber daya laut, dan mengoptimalkan pertanian regeneratif secara real-time. Ini mengubah AI dari alat pengawasan menjadi alat penatagunaan.

3.2.1 Mengatasi Kedaulatan Teknologi: Melampaui Ketergantungan#

Janji pemantauan ekologis yang digerakkan oleh AI dan sistem energi terdesentralisasi menghadapi tantangan mendasar: kedaulatan teknologi—didefinisikan sebagai agensi tingkat negara dalam sistem internasional mengenai pengembangan dan penyebaran teknologi—telah menjadi kritis seiring dengan semakin intensifnya persaingan teknologi global. Papua tidak dapat mencapai transformasi regeneratif yang sejati jika infrastruktur teknologinya tetap dikendalikan oleh aktor eksternal, menciptakan bentuk-bentuk ketergantungan baru yang mencerminkan kolonialisme ekstraktif.

Tantangan Manufaktur dan Keterampilan:

Negara-negara kurang berkembang menghadapi kendala berat: hanya 27% populasi LDC yang memiliki akses internet, dan kesenjangan digital mengancam untuk mengecualikan orang-orang termiskin di dunia dari kemajuan teknologi. Sementara nilai tambah manufaktur per kapita LDC meningkat 35% dari 2015-2023 (dari 125menjadi125 menjadi 169), laju ini tidak cukup untuk menggandakan tingkat 2015 pada tahun 2030. PNG dan Papua Indonesia menghadapi tantangan ini secara akut—kekurangan infrastruktur digital dan kapasitas manufaktur.

Strategi Kedaulatan Teknologi Bertahap:

Tahap 1 (2025-2035): Fondasi Teknologi Menengah

  • Jaringan Pengadaan Regional: Daripada mencari semua teknologi dari Global North, prioritaskan kemitraan teknologi dengan ekonomi manufaktur yang sedang berkembang. Negara-negara dengan tenaga kerja terampil dan bahan baku kritis yang melimpah menarik investasi global dan muncul sebagai pemimpin manufaktur. Indonesia (untuk Papua Indonesia) dan mitra regional (Malaysia, Thailand, Vietnam) dapat menyediakan panel surya, baterai, dan perangkat keras komputasi berbiaya menengah dengan persyaratan transfer teknologi yang lebih baik daripada pemasok Cina atau Barat.
  • Open-Source First: Munculnya Infrastruktur Publik Digital (DPI)—dicontohkan oleh pendekatan India—menunjukkan bagaimana negara dapat membangun kedaulatan teknologi melalui platform sumber terbuka. Semua sistem perangkat lunak yang digunakan (Guardian AI, manajemen jaringan, optimalisasi pertanian) harus dibangun di atas fondasi sumber terbuka dengan akses kode sumber penuh, memungkinkan modifikasi dan pemeliharaan lokal.
  • Pendidikan Teknis Skala Besar: Mendirikan Institut Teknologi Regeneratif Melanesia dengan kurikulum dalam: rekayasa sistem energi terbarukan, pertanian presisi, AI/pembelajaran mesin, sistem tertanam, administrasi jaringan, dan perbaikan perangkat keras. Targetkan 5.000 lulusan setiap tahun pada tahun 2030. Bermitra dengan universitas regional (Universitas PNG, Universitas Cenderawasih, institut teknik regional) untuk pengiriman terdistribusi.

Tahap 2 (2035-2045): Munculnya Manufaktur Regional

  • Koperasi Teknologi Melanesia: Mengambil model koperasi, mendirikan manufaktur regional untuk teknologi-teknologi penting. Fokus awal: perakitan panel surya (mengimpor sel, memproduksi panel secara lokal), perakitan paket baterai, manufaktur drone, produksi sensor. Ini menciptakan lapangan kerja sambil membangun kapasitas teknis.
  • Daya Ungkit Mineral Kritis: Papua memiliki deposit tanah jarang yang besar. Negara-negara yang diuntungkan secara geografis dengan bahan baku kritis dan tenaga kerja terampil menarik investasi. Daripada mengekspor mineral mentah, wajibkan usaha patungan yang membutuhkan transfer teknologi dan penambahan nilai lokal (pengolahan, manufaktur komponen).
  • Aliansi Teknologi Selatan-Selatan: Formalisasikan kemitraan dengan negara-negara pengembang teknologi di Global South: India (perangkat lunak, sistem DPI), Brasil (teknologi pertanian), Kenya (perbankan seluler, konektivitas pedesaan), Vietnam (manufaktur elektronik). Kemitraan ini biasanya menawarkan persyaratan transfer teknologi yang lebih baik daripada perusahaan Global North.

Tahap 3 (2045-2050): Kapasitas Manufaktur Tingkat Lanjut

  • Pusat Inovasi Regional: Pada tahun 2045, targetkan Papua menjadi pusat regional untuk teknologi adaptasi iklim—sistem energi terbarukan tropis, pemantauan keanekaragaman hayati, teknologi pertanian tangguh. Kesiapan manufaktur semakin bergantung pada kinerja keberlanjutan, tenaga kerja terampil, dan kapasitas inovasi.

Mengurangi Risiko Ketergantungan:

  • Desain Modular dan Dapat Diperbaiki: Semua teknologi yang diadakan harus memenuhi standar “hak untuk memperbaiki”—dokumentasi teknis lengkap, suku cadang yang tersedia, komponen non-proprietary. Tolak keterikatan pada vendor.
  • Sistem Hibrida: Pertahankan sistem cadangan berteknologi rendah. Mikrogrid surya mencakup penggantian manual; sistem pertanian menggabungkan jaringan sensor dengan pengetahuan tradisional; sistem data mencakup cadangan analog.
  • Persyaratan Lokalisasi Progresif: Semua kontrak teknologi mencakup jadwal lokalisasi yang mengikat—Tahun 1: 20% konten lokal, Tahun 5: 50%, Tahun 10: 80%—memaksa transfer teknologi secara bertahap.
  • Pertanian Regeneratif & Robotika: Teknologi dapat meningkatkan, bukan menggantikan, agroforestri tradisional. Robotika presisi dan sensor berbasis drone dapat mendukung petani dengan meningkatkan kesehatan tanah, mengoptimalkan penggunaan air, dan mengelola hama tanpa input kimia, meningkatkan hasil panen baik tanaman subsisten maupun produk ekspor bernilai tinggi dan berkelanjutan seperti vanila, kopi, dan kakao.

  • Manufaktur Terdistribusi & Ekonomi Sirkular: “Fab lab” lokal yang dilengkapi dengan printer 3D, mesin CNC, dan prosesor bio-material dapat menciptakan rantai pasokan lokal yang tangguh. Komunitas dapat memproduksi suku cadang untuk mesin, peralatan medis, dan barang-barang konsumsi, mengurangi ketergantungan impor. Ini mendorong ekonomi sirkular di mana produk dirancang untuk daya tahan, kemudahan perbaikan, dan akhirnya daur ulang biologis atau teknis.

  • Bio-komputasi & Biologi Sintetis: Teknologi perbatasan ini menawarkan jalan untuk bergerak melampaui keberlanjutan belaka ke regenerasi aktif. Dengan menggunakan biologi sintetis, komunitas dapat mengembangkan industri baru berdasarkan keanekaragaman hayati unik mereka. Misalnya, senyawa bernilai tinggi dari tanaman obat tradisional dapat diproduksi secara berkelanjutan di bioreaktor, dengan royalti diatur oleh kontrak pintar berbasis blockchain untuk memastikan pembagian keuntungan yang adil dengan pemegang pengetahuan asli.

3.3 Kota Regeneratif#

Sintesis teknologi ini memungkinkan pengembangan pusat-pusat kota yang berfungsi seperti ekosistem hidup. Kota-kota Solarpunk di tempat-tempat seperti Jayapura atau Port Moresby akan ditandai oleh:

  • Infrastruktur Terpadu: Bangunan akan menggabungkan pertanian vertikal, pemanenan air hujan, dan kulit fotovoltaik terintegrasi, berfungsi sebagai simpul produksi, bukan hanya konsumsi.
  • Metabolisme Sirkular: Aliran limbah akan dikonseptualisasikan ulang sebagai aliran sumber daya, dengan limbah organik diubah menjadi biogas dan pupuk, dan air didaur ulang secara sistematis.
  • Hubungan Simbiotik Kota-Pedesaan: Kota akan berada dalam hubungan simbiosis yang mendukung dengan bioregion di sekitarnya, mengandalkannya untuk makanan dan sumber daya berkelanjutan sambil menyediakannya dengan teknologi, layanan, dan pasar untuk produk regeneratif. Transportasi akan didominasi oleh angkutan umum yang bersih dan efisien serta mobilitas listrik.

Bagian IV: Peta Jalan Pragmatis Menuju Sintesis (2025-2050)#

Transisi ini membutuhkan pendekatan bertahap yang realistis yang mengakui realitas politik, kelembaman institusional, dan tingkat adopsi teknologi yang bervariasi.

Tahap 1: Tata Kelola Dasar dan Program Percontohan (2025-2035)#

Tahap ini berfokus pada pembentukan kerangka kerja hukum dan kelembagaan yang diperlukan sambil menunjukkan kelayakan dalam skala kecil.

  1. Membangun Kemauan Politik dan Kerangka Kerja Hukum: Ini adalah langkah paling kritis dan menantang. Ini membutuhkan pembangunan koalisi luas dari para pemimpin adat, reformis pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil.
    • Tindakan: Meluncurkan proses dialog nasional untuk menyusun dan mengesahkan Undang-Undang Pembangunan Regeneratif Nasional. Undang-undang omnibus ini akan secara resmi mengakui kepemilikan tanah adat (adat), menetapkan kerangka kerja hukum untuk Kedaulatan Data Adat, dan menetapkan target pengurangan karbon. Mengamankan ini akan membutuhkan navigasi kepentingan politik yang kompleks dan akan menjadi upaya multi-tahun [Lynch & Harwell, 2002].
  2. Pembentukan Institusi Kunci:
    • Tindakan: Menciptakan Badan Teknologi Regeneratif Melanesia (MART), sebuah entitas publik-swasta untuk mendanai dan memberikan bantuan teknis untuk proyek-proyek percontohan.
    • Tindakan: Mendirikan Dewan Perwalian Data Adat, yang terdiri dari para pemimpin adat dan ahli teknis, untuk mengawasi implementasi protokol kedaulatan data.
  3. Menunjukkan Kelayakan melalui Proyek Percontohan:
    • Tindakan: Memilih 15-20 komunitas di berbagai ekosistem untuk percontohan “Zona Usaha Regeneratif”. Zona-zona ini akan menerima investasi awal dalam tumpukan teknologi (jaringan surya, internet, fab lab) dan pelatihan untuk mengembangkan bisnis regeneratif tertentu (misalnya, akuakultur berkelanjutan, produk agroforestri, ekowisata). Keberhasilan di sini sangat penting untuk membangun dukungan politik dan publik yang lebih luas.

Tahap 2: Peningkatan Investasi dan Infrastruktur (2035-2045)#

Tahap ini berfokus pada pemanfaatan keberhasilan Tahap 1 untuk menarik investasi skala besar dan membangun infrastruktur nasional.

  1. Mengurangi Risiko dan Menarik Investasi:
    • Tindakan: Mendirikan Bank Investasi Hijau Papua dan Dana Kekayaan Negara. Lembaga-lembaga ini akan menggunakan dana publik untuk “mengurangi risiko” investasi swasta dan internasional dalam proyek-proyek regeneratif skala besar (misalnya, jaringan pintar nasional, transportasi berkelanjutan). Mereka akan menerbitkan obligasi hijau dan bermitra dengan bank pembangunan.
  2. Penyelarasan Kebijakan Ekonomi dan Arsitektur Transisi Fiskal

Transisi ini membutuhkan arsitektur fiskal yang komprehensif yang menghasilkan pendapatan yang cukup untuk menggantikan pendapatan ekstraktif sambil mendanai infrastruktur regeneratif.

Implementasi Harga Karbon:

Harga karbon global telah berkembang secara signifikan—75 instrumen yang mencakup 24% emisi global, menghasilkan $104 miliar pada tahun 2024. PNG harus menerapkan struktur pajak karbon progresif:

  • 2026-2030: K40/ton CO₂ (≈$11 USD), naik 8% setiap tahun ditambah inflasi
  • 2031-2040: K80/ton (≈$22 USD), menangkap keuntungan super dari operasi ekstraktif yang tersisa
  • Alokasi Pendapatan: 40% untuk Dana Transisi yang Adil (dukungan pekerja), 30% untuk infrastruktur regeneratif, 20% untuk dividen warga (memastikan dukungan berbasis luas), 10% untuk operasi Perwalian Data Adat

Proyeksi Pendapatan: Pada K40/ton yang mencakup operasi penambangan dan LNG (≈15-20 juta ton CO₂ setiap tahun pada awalnya), menghasilkan K600-800 juta setiap tahun, meningkat menjadi K1.2-1.6 miliar pada tahun 2035.

Sistem Pembayaran Jasa Ekosistem:

Pembayaran untuk Jasa Ekosistem (PES) memberikan kompensasi kepada pemilik tanah atas tindakan yang meningkatkan penyediaan jasa ekosistem—pemurnian air, penyerapan karbon, konservasi keanekaragaman hayati. Strategi implementasi:

Pembayaran Karbon Hutan: Pembeli menunjukkan kesediaan untuk membayar tambahan 79.40untukproyekhutan/hutantropis,7-9.40 untuk proyek hutan/hutan tropis, 2.30 untuk proyek di daerah terpinggirkan, 5.10untukekosistemutuh.29jutahektarPNGyangmenyimpan3,5miliartonkarbondapatmenghasilkanpendapatanyangbesar.Proyeksikonservatif:melindungi10jutahektar(Tahap1)padapenyerapan40tonCO2/hektar/tahun,5.10 untuk ekosistem utuh. 29 juta hektar PNG yang menyimpan 3,5 miliar ton karbon dapat menghasilkan pendapatan yang besar. Proyeksi konservatif: melindungi 10 juta hektar (Tahap 1) pada penyerapan 40 ton CO₂/hektar/tahun, 25/ton (harga premium untuk manfaat tambahan): total 10miliar,10 miliar, 400 juta setiap tahun bertahap selama 25 tahun.

Kredit Keanekaragaman Hayati: Mendirikan Bursa Kredit Keanekaragaman Hayati Melanesia. Perusahaan/negara dengan kewajiban kehilangan keanekaragaman hayati membeli kredit dari komunitas yang secara aktif melestarikan keanekaragaman hayati Papua yang luar biasa (8% spesies global). Target: $100-200 juta setiap tahun pada tahun 2035.

Jasa Daerah Aliran Sungai: Penerima manfaat hilir membayar pemilik tanah hulu untuk perlindungan daerah aliran sungai. Perusahaan air minum perkotaan di Port Moresby, Jayapura, Lae membayar komunitas dataran tinggi untuk konservasi hutan yang melindungi sumber air. Diperkirakan: K50-100 juta setiap tahun.

Perpajakan Domestik Progresif:

  • Pajak Kekayaan: Pajak tahunan 2% atas kekayaan bersih yang melebihi K5 juta (≈$1.4M USD), 3% di atas K20 juta. Menargetkan elit politik dan pengusaha besar. Pendapatan: K200-300 juta setiap tahun.
  • Pajak Barang Mewah: Pajak 40% atas kendaraan mewah impor, perhiasan, elektronik kelas atas. Pendapatan: K80-120 juta.
  • Pajak Layanan Digital: Pajak 6% atas pendapatan dari layanan digital yang disediakan oleh perusahaan teknologi asing (Google, Facebook, Amazon, Netflix) kepada pelanggan PNG. Beberapa yurisdiksi menerapkan pajak digital. Pendapatan: K60-100 juta setiap tahun.
  • Pajak Transaksi Keuangan: Pajak 0.1% atas transaksi keuangan bernilai tinggi (>K100.000). Pendapatan: K150-200 juta setiap tahun.

Total Pendapatan Domestik Tambahan: K500-700 juta setiap tahun pada tahun 2030, meningkat menjadi K800 juta-1.2 miliar pada tahun 2035.

Mobilisasi Keuangan Iklim:

  • Komitmen Perjanjian Paris: Negara-negara maju menjanjikan 100miliarsetiaptahun(jarangterpenuhi).PNGsecaraagresifmengejarperjanjiankeuanganiklimbilateralyangmenargetkan100 miliar setiap tahun (jarang terpenuhi). PNG secara agresif mengejar perjanjian keuangan iklim bilateral yang menargetkan 400-600 juta setiap tahun dalam bentuk hibah dan pinjaman lunak.
  • Dana Kerugian dan Kerusakan: Mekanisme internasional baru untuk kompensasi iklim sedang muncul. PNG memposisikan diri sebagai penerima percontohan mengingat kerentanan iklim. Target: $200-400 juta selama satu dekade.
  • Obligasi Hijau: Menerbitkan obligasi hijau negara di pasar internasional (2030+), didukung oleh pendapatan jasa ekosistem dan aset karbon. Penerbitan awal: $500 juta-1 miliar.

Arsitektur Dana Kekayaan Negara (SWF):

Mendirikan Dana Pembangunan Regeneratif Papua (2027), dengan modal dari:

  • Sisa pendapatan sumber daya selama fase penurunan (K500 juta-1 miliar setiap tahun 2027-2035)
  • 30% dari pendapatan pajak karbon
  • Hibah keuangan iklim yang ditujukan untuk investasi jangka panjang
  • Penyelesaian reparasi dari perusahaan ekstraktif

Target kapitalisasi: K8-12 miliar pada tahun 2035, tumbuh menjadi K20-30 miliar pada tahun 2045. Strategi investasi: 60% ekuitas/obligasi global (pengembalian yang terdiversifikasi), 30% proyek infrastruktur regeneratif (PNG dan regional), 10% investasi dampak di perusahaan regeneratif Melanesia. Target pengembalian riil 5-6% memberikan K400 juta-1.8 miliar setiap tahun secara abadi pada tahun 2040-an, menciptakan aliran pendapatan permanen yang independen dari ekstraksi.

Gambaran Fiskal Total (2035):

  • Pajak karbon: K1.2-1.6 miliar
  • Jasa ekosistem: K400-600 juta
  • Perpajakan domestik: K800 juta-1.2 miliar
  • Keuangan iklim: K400-600 juta (rata-rata tahunan)
  • Pengembalian SWF (pasca-2040): K400 juta-1.8 miliar
  • Total: K3.2-5.8 miliar setiap tahun

Ini secara substansial melebihi pendapatan ekstraktif saat ini (K2-4 miliar), menunjukkan kelayakan fiskal sambil menciptakan basis pendapatan yang lebih stabil dan terdiversifikasi yang tidak tunduk pada volatilitas harga komoditas. 3. Peluncuran Infrastruktur dan Pengembangan Sumber Daya Manusia: * Tindakan: Menerapkan rencana nasional untuk jaringan energi terbarukan yang terdesentralisasi. * Tindakan: Mengintegrasikan kurikulum “Teknologi Regeneratif” ke dalam universitas dan sekolah kejuruan, menciptakan tenaga kerja terampil untuk ekonomi baru dan meningkatkan program seperti “Penjaga Digital” untuk pengelolaan ekologis.

Tahap 3: Pematangan Sistem dan Kepemimpinan Global (2045-2050)#

Tahap ini melihat model ekonomi baru menjadi paradigma dominan, menciptakan sistem yang mandiri dan dinamis.

  1. Menggeser Metrik Keberhasilan Nasional:
    • Tindakan: Secara resmi melengkapi PDB dengan Dasbor Kesejahteraan Nasional yang lebih holistik, melacak metrik untuk kesehatan ekologis, kesetaraan sosial, vitalitas budaya, dan pendidikan. Dasbor ini akan menjadi panduan utama untuk kebijakan publik.
  2. Diversifikasi Ekonomi dan Integrasi Global:
    • Tindakan: Dengan infrastruktur baru dan tenaga kerja terampilnya, negara ini menjadi pemimpin dunia di sektor-sektor regeneratif bernilai tinggi tertentu: agroforestri tropis, bio-farmasi, layanan penyerapan karbon, dan konsultasi teknologi regeneratif.
  3. Keseimbangan Dinamis:
    • Hasilnya adalah masyarakat dalam keadaan keseimbangan dinamis. Ekonomi pasar memberikan inovasi dan efisiensi, tetapi beroperasi dalam batas-batas ekologis dan sosial yang jelas yang ditetapkan secara demokratis dan diinformasikan oleh kearifan Adat. Sistem ini tangguh, adil, dan siap untuk kemakmuran jangka panjang.

Bagian V: Menghadapi Kegagalan—Analisis Risiko, Kontingensi, dan Jalur Adaptif#

Setiap kerangka kerja transformatif sebesar ini menghadapi risiko implementasi yang mendalam. Kejujuran intelektual menuntut pemetaan mode kegagalan potensial secara eksplisit dan pembentukan mekanisme adaptif. Bahaya terbesar bukanlah tidak mencoba transformasi, tetapi mencobanya tanpa penilaian realistis terhadap rintangan dan strategi cadangan.

5.1 Skenario Kegagalan Kritis#

Penangkapan Politik dan Kooptasi Elit

Risiko: Kerangka kerja regeneratif menjadi kedok retoris untuk ekstraksi yang berkelanjutan. Elit politik mendirikan “Zona Usaha Regeneratif” yang berfungsi sebagai greenwashing sementara ekstraksi sumber daya yang sebenarnya terus berlanjut tanpa henti. Dewan Perwalian Data Adat diisi dengan orang-orang yang patuh. Pendapatan kredit karbon mengalir ke perantara yang terhubung secara politik daripada ke masyarakat.

Indikator: Pendapatan ekstraktif gagal menurun sesuai jadwal yang diproyeksikan; kehilangan hutan terus berlanjut pada tingkat saat ini; pembayaran jasa ekosistem terkonsentrasi di beberapa komunitas dengan koneksi politik; organisasi Adat melaporkan pengecualian dari pengambilan keputusan.

Mitigasi: Komisi Pemantau Independen dengan perwakilan masyarakat sipil internasional, pelaporan publik triwulanan tentang semua metrik; Ketentuan Sunset yang memerlukan otorisasi ulang parlemen setiap 5 tahun dengan konsultasi publik wajib; Hak Veto Komunitas di mana 60% komunitas yang terkena dampak dapat memblokir proyek-proyek tertentu; Perlindungan Whistleblower dengan pengawasan internasional; Penyelesaian Sengketa Alternatif yang memungkinkan masyarakat untuk membawa keluhan ke pengadilan regional Pasifik, melewati peradilan nasional yang terganggu.

Keruntuhan Fiskal Selama Transisi

Risiko: Pendapatan ekstraktif menurun lebih cepat daripada pendapatan pengganti yang terwujud. Pemerintah menghadapi krisis fiskal, tidak dapat membayar gaji sektor publik, layanan sosial runtuh. Serangan balik politik mengarah pada kebangkitan darurat ekstraksi dan pengabaian kerangka kerja regeneratif.

Kontingensi: Dana Cadangan Darurat dalam SWF (K1-2 miliar) yang menyediakan 12-18 bulan biaya operasional jika terjadi guncangan pendapatan; Fasilitas Kontingensi IMF yang dinegosiasikan sebelumnya untuk dukungan neraca pembayaran darurat; Penurunan Bertahap dengan mekanisme pemicu—jika pendapatan pengganti meleset dari target lebih dari 20%, penurunan ekstraktif berhenti selama 2-3 tahun sambil mengintensifkan upaya diversifikasi pendapatan; Implementasi Progresif yang memprioritaskan aliran pendapatan yang paling layak terlebih dahulu (kredit karbon dari hutan utuh memerlukan infrastruktur minimal; manufaktur canggih memerlukan pengembangan 10+ tahun).

Jebakan Ketergantungan Teknologi

Risiko: Meskipun ada retorika kedaulatan, Papua menjadi tergantung pada penyedia teknologi eksternal. Sistem “AI Penjaga” tidak berfungsi tanpa kapasitas perbaikan lokal. Komponen jaringan surya gagal, tidak ada suku cadang yang tersedia. Infrastruktur digital memerlukan dukungan teknis asing yang berkelanjutan.

Kontingensi: Tumpukan Teknologi Hibrida yang mempertahankan sistem berteknologi rendah yang terbukti di samping teknologi tinggi: mikrogrid surya mencakup penggantian manual; pemantauan pertanian menggabungkan sensor dengan pengamatan tradisional; sistem komunikasi mencakup jaringan radio HF yang independen dari internet. Redundansi Regional melalui Koperasi Teknologi Melanesia memastikan beberapa pemasok; Lokalisasi Paksa dengan kontrak yang mencakup ganti rugi jika target lokalisasi tidak tercapai; Escrow Teknologi yang mewajibkan semua kode sumber, dokumentasi teknis, dan spesifikasi manufaktur disimpan dalam escrow, dirilis ke PNG jika vendor gagal memenuhi kewajiban.

Gangguan Iklim yang Melebihi Adaptasi

Risiko: Dampak iklim (kenaikan permukaan laut, cuaca ekstrem, gagal panen, penyakit) berakselerasi lebih cepat daripada kemampuan sistem regeneratif untuk beradaptasi. Komunitas pesisir menghadapi genangan permanen; sistem pertanian runtuh; pengungsi iklim membanjiri daerah perkotaan; kohesi sosial retak.

Respons: Protokol Mundur Terencana untuk daerah pesisir yang paling rentan dengan relokasi yang berpusat pada martabat (menjaga integritas komunitas, kompensasi yang memadai, pelestarian situs budaya); Sistem Pangan Tahan Iklim yang menekankan keragaman—jika tanaman pokok gagal, tersedia beberapa alternatif; Perjanjian Migrasi Iklim Regional di Melanesia yang memberikan dukungan timbal balik; Adaptasi Radikal termasuk pertimbangan intervensi skala besar (perluasan mangrove, restorasi terumbu karang, sistem agroforestri yang dirancang untuk skenario +2-3°C); Litigasi Keadilan Iklim Internasional yang mengejar klaim hukum terhadap penghasil emisi utama untuk mendanai adaptasi.

Gangguan Geopolitik

Risiko: Eskalasi militer Indonesia di Papua Barat membuat kerja sama menjadi tidak mungkin; paksaan ekonomi Australia atau Cina memaksa pembalikan kebijakan; konflik regional (Selat Taiwan, Laut Cina Selatan) menciptakan krisis keamanan; krisis ekonomi global menghilangkan keuangan iklim.

Kontingensi: Ambiguitas Strategis yang menjaga hubungan dengan berbagai kekuatan, menghindari ketergantungan total pada satu mitra; Diversifikasi Defensif yang memastikan sistem regeneratif dapat beroperasi secara independen jika dukungan internasional ditarik; Ekonomi Bawah Tanah yang menjaga kapasitas komunitas Adat otonom untuk menopang diri mereka sendiri di luar ekonomi formal jika situasi politik memburuk; Dokumentasi dan Kesaksian pencatatan komprehensif pengetahuan, sistem, dan pencapaian sehingga pembelajaran bertahan bahkan jika implementasi spesifik gagal.

5.2 Indikator dan Pemicu Adaptif#

Mendirikan Dasbor Transisi Regeneratif dengan pelaporan publik triwulanan tentang 40+ indikator di 6 domain:

Kesehatan Ekologis: Tutupan hutan, indeks keanekaragaman hayati, kualitas air, kesehatan tanah, stok ikan, tingkat penyerapan karbon

Transisi Ekonomi: Tren pendapatan ekstraktif, pertumbuhan pendapatan pengganti, lapangan kerja berdasarkan sektor, distribusi pendapatan (koefisien Gini), kapitalisasi SWF

Kesejahteraan Sosial: Hasil kesehatan, pendaftaran/kualitas pendidikan, ketahanan pangan, kecukupan perumahan, metrik kohesi sosial

Politik/Pemerintahan: Partisipasi adat dalam pengambilan keputusan, indeks korupsi, kebebasan sipil, kebebasan pers, survei kepuasan masyarakat

Pengembangan Teknologi: Kapasitas teknis lokal, kemajuan transfer teknologi, keandalan infrastruktur, inklusi digital

Ketahanan Iklim: Investasi adaptasi, kesiapsiagaan bencana, indeks kerentanan

Pemicu Adaptif: Jika 3+ indikator kritis bergerak secara merugikan selama 2+ tahun berturut-turut, proses peninjauan otomatis dengan tiga hasil potensial:

  1. Koreksi Arah: Memodifikasi kebijakan spesifik sambil mempertahankan kerangka kerja keseluruhan
  2. Jeda Strategis: Menghentikan sementara kemajuan ke fase berikutnya sambil mengkonsolidasikan keuntungan
  3. Revisi Kerangka Kerja: Penilaian ulang mendasar jika asumsi inti terbukti salah

Ini melembagakan pembelajaran dan adaptasi, mencegah kepatuhan kaku pada strategi yang gagal.

Kesimpulan: Dari Visi ke Praksis—Wadah Melanesia#

Kerangka kerja yang disajikan di sini muncul dari pengakuan mendasar: Antroposen menuntut bentuk-bentuk baru organisasi ekonomi yang tidak dapat disediakan oleh kategori ideologis abad ke-20. Baik fundamentalisme pasar maupun sosialisme negara, baik tekno-utopianisme maupun kemunduran primitivis tidak menawarkan respons yang memadai terhadap simultanitas krisis yang mendalam—keruntuhan ekologis, fragmentasi sosial, dan kebutuhan mendesak akan kemakmuran yang benar-benar inklusif—yang menjadi ciri momen historis kita.

Apa yang telah diusulkan bukanlah cetak biru tetapi peta navigasi—kerangka kerja untuk mensintesis dinamisme pasar dengan kearifan Adat, kapasitas teknologi dengan keterlekatan ekologis, pembangunan ekonomi dengan kesinambungan budaya. Demokrasi sosial Skandinavia menunjukkan bahwa pasar dapat dilekatkan dalam institusi sosial demokratis; tantangannya sekarang adalah melekatkannya dalam kerangka kerja tata kelola ekologis dan Adat yang memadai untuk batas-batas planet.

Kekhususan Tempat:

Sintesis ini tidak bisa generik. Papua—baik PNG maupun Papua Indonesia—memiliki karakteristik unik yang membuatnya secara bersamaan rentan dan diposisikan untuk transformasi perintis:

Kekayaan Biokultural: Di antara keragaman linguistik tertinggi secara global (1.000+ bahasa di PNG saja), yang mencerminkan kapasitas adaptif budaya yang luar biasa. Di antara keanekaragaman hayati tertinggi secara global (8% spesies di 0,5% daratan). Ini bukan multikulturalisme dekoratif tetapi merupakan ribuan tahun ko-evolusi manusia-ekosistem yang berhasil—tepatnya basis pengetahuan yang diperlukan untuk ekonomi regeneratif.

Ketergantungan Jalur Industri yang Terbatas: Tidak seperti negara-negara Global North yang mengalami deindustrialisasi yang terbebani oleh infrastruktur fosil dan konstituen politik yang membelanya, atau negara-negara yang mengalami industrialisasi pesat seperti Cina atau India yang sangat terikat pada pembangunan padat karbon, Papua dapat melompat langsung ke sistem regeneratif. Tidak adanya infrastruktur bahan bakar fosil yang luas adalah aset, bukan kewajiban.

Otoritas Moral: PNG menghadapi dampak iklim yang parah meskipun kontribusinya terhadap emisi global minimal, memberikan otoritas moral dalam negosiasi iklim internasional. Ini berarti daya ungkit untuk keuangan iklim, keringanan utang, transfer teknologi, dan reparasi.

Fluiditas Geopolitik: Posisi di antara kekuatan-kekuatan yang bersaing (Indonesia, Australia, Cina, AS) menciptakan ruang untuk otonomi strategis jika dinavigasi dengan cekatan. Munculnya kesadaran regional Melanesia dan Pasifik yang lebih luas memberikan dukungan diplomatik.

Pertanyaan Teknologi Ditinjau Kembali:

Penekanan kerangka kerja pada teknologi memerlukan refleksi akhir. Teknologi bukanlah penyelamat atau penjahat—ia melekat secara sosial, melayani kepentingan yang mengendalikannya. Panel surya dan AI dapat melayani kapitalisme ekstraktif atau komunitas regeneratif; penentunya adalah tata kelola, bukan teknologinya itu sendiri.

Wawasan kritis dari beasiswa kontemporer tentang kedaulatan teknologi—bahwa ia harus dipahami sebagai agensi tingkat negara dalam sistem internasional, bukan kepemilikan belaka—berlaku ganda untuk konteks Adat. Kedaulatan teknologi sejati membutuhkan:

  • Kontrol atas infrastruktur (server, jaringan, perangkat keras)
  • Kontrol atas perangkat lunak dan algoritma (sumber terbuka, modifikasi lokal)
  • Kontrol atas data (kerangka kerja Kedaulatan Data Adat)
  • Kontrol atas pendidikan teknis (membangun keahlian lokal)
  • Kontrol atas manufaktur (kapasitas regional, bukan impor permanen)

Kedaulatan lima lapis ini mencegah teknologi menjadi modalitas baru kolonialisme.

Ekonomi Politik Transformasi:

Tetapi tantangan utamanya tetap bersifat politis: transformasi membutuhkan pemindahan kekuasaan yang mengakar. Kapitalisme ekstraktif bertahan bukan karena alternatif yang lebih unggul tidak ada, tetapi karena ia telah menciptakan struktur politik-ekonomi yang luar biasa saling menguatkan—jaringan patron-klien yang bergantung pada sewa sumber daya, perusahaan multinasional dengan kekuatan hukum dan ekonomi yang melebihi negara-negara kecil, lembaga keuangan internasional yang mempromosikan liberalisasi, badan keamanan yang mendapat manfaat dari narasi ketidakstabilan.

Konsep “politik penolakan” Audra Simpson menawarkan jalan: daripada mencari pengakuan dari struktur-struktur ini, bangsa-bangsa Adat dapat menegaskan kedaulatan melalui penolakan itu sendiri. Diterapkan secara strategis, ini berarti:

  • Menolak untuk menunggu izin dari negara atau perusahaan untuk menerapkan sistem regeneratif di tanah Adat
  • Menolak proyek-proyek ekstraktif terlepas dari janji “konsultasi” atau “pembagian keuntungan” yang mempertahankan status subordinat
  • Menolak untuk mengukur keberhasilan semata-mata dengan PDB, sebaliknya menggunakan metrik yang berakar pada budaya
  • Menolak “pembangunan” teknokratis yang menggusur tata kelola Adat

Secara bersamaan, transformasi membutuhkan pembangunan blok kontra-hegemonik yang dijelaskan di Bagian III—aliansi yang mencakup pemilik tanah adat, faksi politik progresif, pemerintah daerah, gerakan keadilan iklim, dan jaringan solidaritas Global South. Kekuatan koalisi ini berasal dari penggabungan otoritas moral (keadilan iklim, hak-hak Adat), daya ungkit ekonomi (kontrol atas tanah dan sumber daya), dan posisi strategis (persaingan geopolitik yang menciptakan ruang untuk otonomi).

Tentang Kegagalan dan Ketahanan:

Analisis risiko di Bagian VI mencerminkan pemahaman yang diperoleh dengan susah payah: proyek-proyek transformatif sering kali gagal. Mereka ditangkap oleh para elit, dirusak oleh tekanan eksternal, diliputi oleh krisis, atau runtuh karena kontradiksi internal. Mengakui ini bukanlah pesimisme tetapi realisme—dan itu memungkinkan perancangan untuk ketahanan.

Nilai kerangka kerja ini tetap ada bahkan jika implementasi spesifik gagal. Pengetahuan yang dihasilkan—inovasi teknis, eksperimen tata kelola, strategi pembangunan koalisi, bukti bahwa alternatif itu mungkin—bertahan untuk menginformasikan upaya-upaya berikutnya. Setiap kegagalan yang didokumentasikan, dianalisis, dan dipelajari memajukan proyek yang lebih luas dari ekonomi pasca-ekstraktif dan regeneratif.

Selain itu, kerangka kerja ini secara inheren terdistribusi. Ia tidak bergantung pada transformasi total pemerintah nasional (meskipun itu akan membantu) tetapi dapat diimplementasikan sebagian—oleh provinsi, kabupaten, komunitas individu yang mendirikan Zona Usaha Regeneratif, mengembangkan sistem AI Penjaga, berpartisipasi в pasar jasa ekosistem. Implementasi terdistribusi ini menciptakan ketahanan; pembalikan akan membutuhkan penindasan puluhan atau ratusan inisiatif lokal secara bersamaan.

Taruhan yang Lebih Luas:

Transformasi Papua penting jauh di luar Papua. Negara-negara berkembang pulau kecil, negara-negara tropis, wilayah Adat secara global menghadapi tantangan serupa—bagaimana mencapai kemakmuran yang bermartabat tanpa mereplikasi jalur ekstraktif yang telah mendestabilisasi sistem Bumi. Jika Papua berhasil—jika ia menunjukkan bahwa menggabungkan inovasi pasar dengan tata kelola Adat dan regenerasi ekologis menciptakan hasil yang lebih unggul—ia menyediakan model kerja bagi seperempat umat manusia yang menghadapi keadaan yang sebanding.

Sebaliknya, kegagalan memperkuat narasi bahwa “Tidak Ada Alternatif,” bahwa kapitalisme ekstraktif adalah takdir umat manusia terlepas dari konsekuensinya. Taruhan global dengan demikian melebihi perbatasan Papua.

Kata Penutup:

Disertasi ini berpendapat bahwa sintesis yang diperlukan dapat dicapai—bahwa kondisi teknologi, ekologis, dan ekonomi ada untuk menciptakan ekonomi pasar regeneratif yang melekat dalam tata kelola Adat. Rintangannya bersifat politis, bukan teknis.

Apakah sintesis ini akan muncul bergantung pada pilihan yang dibuat dalam dekade mendatang. Akankah pemilik tanah adat, pemimpin politik progresif, ahli teknis, dan organisasi masyarakat sipil membangun koalisi yang diperlukan untuk menantang kekuatan ekstraktif? Akankah aktor internasional menyediakan keuangan iklim dan transfer teknologi yang dituntut oleh keadilan? Akankah masyarakat Papua memilih jalan transformasi yang tidak pasti di atas jalan ekstraksi yang sudah dikenal?

Jawabannya masih belum tertulis. Tetapi imperatifnya jelas: bisnis seperti biasa memastikan bencana; transformasi menawarkan kemungkinan. Di celah antara kepastian dan harapan itulah pekerjaan dimulai.

Jalan ke depan bukanlah tak terelakkan atau tidak mungkin—ia bergantung pada agensi manusia, kemauan politik, dan keberanian untuk membayangkan dan membangun ekonomi yang melayani kehidupan itu sendiri. Papua berdiri di persimpangan jalan ini. Apa yang muncul akan bergema sepanjang abad ini.


Referensi

  • Allen, M. (2009). The ‘Wantok System’: A Benign Form of Social Security? Development Bulletin, 73, 59-62.
  • Banks, G., & Ballard, C. (Eds.). (1997). The Ok Tedi Settlement: Issues, Outcomes and Implications. National Centre for Development Studies, Australian National University.
  • Carroll, S. R., Garba, I., Figueroa-Rodríguez, O. L., Holbrook, J., Lovett, R., Materechera, S., … & Hudson, M. (2020). The CARE Principles for Indigenous Data Governance. Data Science Journal, 19(1), 43.
  • Carroll, S. R., Herczog, E., Hudson, M., Russell, K., & Stall, S. (2021). Operationalizing the CARE and FAIR Principles for Indigenous data futures. Scientific Data, 8(1), 108.
  • Coulthard, G. S. (2014). Red Skin, White Masks: Rejecting the Colonial Politics of Recognition. University of Minnesota Press.
  • Deaton, A. (2013). The Great Escape: Health, Wealth, and the Origins of Inequality. Princeton University Press.
  • International Labour Organization. (2015). Guidelines for a Just Transition Towards Environmentally Sustainable Economies and Societies for All. ILO Publications.
  • Lynch, O. J., & Harwell, E. (2002). Whose Natural Resources? Whose Common Good?: Towards a New Paradigm of Environmental Justice and the National Interest in Indonesia. CIPA.
  • Newell, P., & Mulvaney, D. (2013). The political economy of the ‘just transition’. The Geographical Journal, 179(2), 132-140.
  • Polanyi, K. (1944). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Farrar & Rinehart.
  • Research Data Alliance International Indigenous Data Sovereignty Interest Group. (2019). CARE Principles for Indigenous Data Governance. Global Indigenous Data Alliance.
  • Riofrancos, T. (2023). Resource Radicals: From Petro-Nationalism to Post-Extractivism in Ecuador. Duke University Press.
  • Sillitoe, P. (2001). Hunter-Gatherers and the Colonial Encounter in Borneo and New Guinea. In Hunter-Gatherers in the Modern World. Berghahn Books.
  • Simpson, A. (2014). Mohawk Interruptus: Political Life Across the Borders of Settler States. Duke University Press.
  • Sovacool, B. K., & Dworkin, M. H. (2015). Energy justice: Conceptual insights and practical applications. Applied Energy, 142, 435-444.
  • Stern, N. (2007). The Economics of Climate Change: The Stern Review. Cambridge University Press.
  • Stevis, D., & Felli, R. (2015). Global labour unions and just transition to a green economy. International Environmental Agreements: Politics, Law and Economics, 15(1), 29-43.
  • Timber, S., & Evans, D. (2023). Manufacturing the future: Technology sovereignty in the Global South. World Development, 168, 106271.
  • Tuck, E., & Yang, K. W. (2012). Decolonization is not a metaphor. Decolonization: Indigeneity, Education & Society, 1(1), 1-40.
  • World Bank. (2024). State and Trends of Carbon Pricing 2024. Washington, DC: World Bank.
  • Wunder, S. (2015). Revisiting the concept of payments for environmental services. Ecological Economics, 117, 234-243.
Visi Solarpunk untuk Melanesia
https://astro-pure.js.org/blog/id/solarpunk-id
Author Yose Marthin Giyay
Published at October 15, 2025
Comment seems to stuck. Try to refresh?✨