Saya baru saja menyelesaikan video ini (temukan komentar say a), dan ada beberapa hal yang ingin saya tanggapi segera. Salah satu komentar yang menarik perhatian saya adalah:
“Seni, bahkan sains, akan melebur menjadi agama… semua hanyalah kepercayaan kecuali AI… karena AI dapat memutuskan apa yang kita inginkan, apa yang membuat kita bahagia, dan bahkan menjawab pertanyaan duniawi… Jadi ke mana manusia lari? Yap, ke kepercayaan… lebih tepatnya, apa yang dia percayai.”
Pernyataan ini sepertinya pola yang sering muncul dalam diskusi mengenai revolusi teknologi; agak distopia.
Agama bukan sumber tunggal dari moralitas dan ekspresi manusia.
Saya pribadi tidak sepakat kalau agama adalah satu-satunya sumber moralitas dan ekspresi manusia. Seni dan humaniora, menurut saya, tidak akan punah bahkan ketika ilmu pengetahuan telah mengungkap banyak misteri dunia fisik. Alih-alih mati, seni akan terus berevolusi, seperti bagaimana lukisan tetap relevan meskipun fotografi telah ditemukan. Saya yakin, akan ada bentuk-bentuk seni baru sebagai ekspresi kesadaran manusia yang terus berkembang.
Argumen ini mengingatkan saya pada saat kalkulator pertama kali diperkenalkan. Banyak yang khawatir matematikawan akan tergantikan oleh alat ini, tetapi kenyataannya, kalkulator justru meningkatkan standar dan kapasitas seorang matematikawan. Teknologi tidak menghapuskan kemampuan manusia, melainkan memperluas cakrawala mereka.
Soal moralitas, saya condong ke pandangan bahwa moralitas dapat diturunkan dari pemikiran rasional, objektif, dan empiris. Kalau hal ini tidak 100% benar pun, kita akan selalu menemukan narasi arketipe atau simbolis yang mengingatkan kita bahwa tujuan utama dari rasionalitas adalah untuk kesejahteraan semua makhluk hidup.
Banyak filter yang membentuk kesadaran ini, dan narasi-narasi arketipe semacam itu, seperti kisah Yesus dalam peradaban Barat, bisa menjadi semacam peringatan atau panduan bagi umat manusia secara umum. Atau di masa depan, setiap kelompok atau klan memiliki pedoman simbolis mereka sendiri? Mungkin bahkan legenda leluhur ditulis secara otomatis berdasarkan karakter dan masalah hidup klan tersebut, sebagai hasil dari distribusi pengetahuan dan meningkatnya individualisme? Namun demikian, saya tidak percaya bahwa sekadar mengikuti perintah dari “Tuhan”, atau makhluk berkuasa akan cukup untuk mendistilasi moralitas. Kita akan cenderung mencari makna dalam ekspresi kesadaran, dalam seni dan humaniora, dan saya yakin itu akan menjadi fokus utama manusia ke depannya.
Manusia pada dasarnya tidak suka kehilangan kendali. Kita mungkin bersaing satu sama lain, tetapi kecil kemungkinan kita akan menerima teknologi eksistensial yang tidak bisa dikendalikan. Saya sedikit optimis dalam hal ini—bahkan antagonis terburuk dalam sejarah manusia tetap dipengaruhi oleh ego mereka dan kebutuhan akan pengalaman kepuasan.
Perasaan seperti bahagia, sedih, takut, atau jijik ada karena keterbatasan kita sebagai makhluk hidup. Saya rasa kita tidak ingin sepenuhnya mereplikasi perasaan-perasaan ini, karena mereka adalah inti dari kesadaran manusia. Walaupun ujung-ujungnya keterbatasan kita dan “AI” mungkin sama, perjalanan kita selama jutaan tahun untuk sampai ke titik wujud mahluk yang rumit ini membuat kita sulit direplikasi secara utuh oleh teknologi. Saya percaya bahwa manusia akan terus mencari cara untuk mempertahankan bentuk kesadaran yang unik ini, mungkin bahkan melalui ekspansi ke planet lain untuk memastikan kelangsungan hidup kesadaran kita hingga jauh di masa depan. Pada akhirnya, kesadaran yang langka ini adalah harta karun kita yang paling berharga.
Saya percaya bahwa manusia akan terus mencari cara untuk mempertahankan bentuk kesadaran yang unik ini. Pada akhirnya, kesadaran yang langka ini adalah harta karun kita yang paling berharga.
Kita pasti akan mempertahankannya dari berbagai ancaman (perasaan sintetis, kesadaran palsu). Apalagi saat kualitas hidup meningkat, saya berargumen bahwa yang semua orang mau adalah kepastian bahwa perasaan-perasaan dan kepuasan itu nyata dan otentik.
Semoga dari meningkatnya budaya ilmiah yang notabene empiris, kita juga terbentuk menjadi mahluk yang—ketika air matanya mengalir menatap mata ibu yang sedikit demi sedikit menunjukkan jiwanya mencari jalan keluar—akan murka ketika ini tidak benar-benar terjadi . Merasa dipermainkan. Layaknya robot yang diberi stimulus pengujian belaka. Perasaan-perasaan ini terlalu dalam dan signifikan untuk menjadi suatu kebohongan; terlebih jika stimulus-stimulus ini nihil asal-usul, sebab-akibat, nihil maksud dan tujuan, 100% artifisial dan nihil dampak (karena untuk berdampak, kita harus yakin ini nyata). Saya percaya, jika memang mungkin secara ilmiah, perasaan sintetis akan dikriminalisasi.
Jika logika, kalkulasi, matematika, sains, kumpulan-kumpulan pemahaman manusia akan semesta, merupakan lentera/mercusuar dalam gelap; asumsinya semakin kita tidak perlu menghitung, semakin kita bisa fokus di arah berlayar.
Mungkin iya ada kecenderungan manusia untuk mencari jalan pintas. Kita semakin jarang mengejar kebenaran yang mendalam, dan semakin banyak yang hanya mengejar kepuasan instan. Segala sesuatu terasa semakin fana—seperti kita sedang menambahkan lapisan-lapisan di atas realitas sejati.
Daripada baca buku 500 halaman, mending nonton intisari dan ulasannya . Daripada saya mengejar perbaikan diri yang kontinual yang menghasilkan kepuasan, mending saya mengejar kepuasan dari uang . Daripada mengalami pecahnya ombak dibebatuan, mending saya injeksi perasaan yang diberi pengalaman spesifik itu .
Tapi saya optimis bahwa pendulum ini akan berbalik. Di tengah kecemasan akan dunia yang semakin didominasi oleh antarmuka artifisial, kita akan kembali mencari yang organik dan otentik.
Mungkin saya terlalu optimis, tetapi ini adalah pandangan seorang developer yang cukup bersemangat dengan prospek masa depan.